Bukik Bertanya : From Nothing Become Something

31 Januari 2012… Yak sebuah hari tepat dihari ulang tahun saya. Kali ini saya akan menulis sebuah posting dalam rangka berkolaborasi dengan seorang rekan yang sangat saya kagumi yaitu pak @bukik. Kenapa saya akhirnya memilih tanggal ini sebagai tanggal untuk saya menerbitkan tulisan ini?! Awalnya… saya ingin menjadi yang pertama menerbitkan tulisan kolaborasi. Namun karena kesibukan program “Dear Friends…” yang saya buat di website, akhirnya… terpaksa diundur. Hingga akhirnya… tanggal ini saya pilih sebagai kado ulang tahun bagi diri saya sendiri. Kado bagi diri saya sendiri untuk merefleksi kehidupan saya selama ini. Berharap… tulisan ini bisa menginspirasi teman-teman dan pembaca setia semuanya. Bahkan jika akhirnya posting ini terpilih untuk dibukukan oleh Pak @bukik, maka itu akan menjadi kado terindah yang pernah saya miliki. Karena impian saya untuk menulis sebuah buku selama ini, akhirnya bisa menjadi kenyataan. Walau nantinya hanya mengisi beberapa halaman di buku yang diterbitkan oleh Pak @bukik,namun itu sudah merupakan kebanggaan tersendiri karena orang lain sudah bisa menghargai tulisan saya. Selain itu… impian menerbitkan buku sendiri juga tentunya akan selangkah lebih dekat.

Saya hanyalah seorang mahasiswa biasa yang kini sedang menempuh pendidikan jenjang strata 2 di Jepang. Ivan Prakasa… itulah nama yang diberikan oleh kedua orang tua saya. Ada makna dibalik nama tersebut, dimana orang tua terinspirasi dari seorang petenis bernama Ivan Lendl yang merupakan salah satu petenis paling dominan pada dasawarsa 1980-an dan awal 1990-an. Sedangkan Prakasa sendiri, orang tua berharap bahwa saya kelak menjadi orang yang kuat dan perkasa. Walau terkadang nama belakang tersebut sering menjadi bahan ledekan teman-teman saya, tapi saya bangga memiliki nama tersebut.

“Ivan”… itulah nama panggilan saya, yang dalam bahasa Ibrani bisa diartikan sebagai “anugrah Tuhan yang paling indah”. Namun seiring dengan perjalanan hidup yang saya lalui, ada berbagai julukan diberikan oleh orang-orang yang dekat dengan saya. Diantaranya adalah julukan sebagai si  “Gendut” yang terus melekat pada diri saya hingga sekarang. Entah sejak umur berapa, bila dirumah saya tidak dipanggil dengan sebutan nama melainkan dengan sebutan “Gendut”. Bahkan jika dibandingkan, mungkin orang tua saya lebih banyak memanggil saya dengan panggilan ‘ndut’ tersebut dibandingkan dengan nama panggilan saya sendiri. Ya memang… waktu kecil saya memang sangat gendut dan pendek. Meski saya kini tidak lagi gendut, namun tetap saja panggilan ‘ndut’ diberikan oleh seluruh anggota keluarga kepada saya.

Dalam kehidupan keluargajujur saja kalau saya boleh bilang, kehidupan keluarga sangatlah monoton. Ayah saya merupakan sosok yang sangat keras. Beliau mendidik anak-anaknya dengan caranya sendiri yang mana dengan didikan tersebut hampir sama sekali tidak ada demokrasi ditengah keluarga. Karena itulah saya mengatakan bahwa kehidupan keluarga yang saya alami sangat monoton. Ayah saya juga seorang yang tidak pernah menunjukkan rasa sayang kepada anaknya secara langsung. Namun pada waktu saya SMA ketika saya mengikuti sebuah program untuk memotivasi diri sendiri, ada sebuah kejadian dimana saya bisa memeluk ayah saya untuk pertama kalinya. Pada saat itulah untuk pertama kalinya saya melihat ayah saya menitihkan air matanya, dan pada saat yang sama saya pun tak dapat menahan tangis ketika memeluknya saat itu.

Satu hal yang saya pelajari saat itu adalah bahwa seberapapun kerasnya orang tua mendidik kita beliau pasti sangat menyayangi anak-anaknya. Begitu pula dengan ayah saya, yang ternyata beliau juga bisa menitihkan air matanya meski beliau sosok yang sangat keras. Saya bangga dan sayang kepada ayah saya, karena beliau adalah sosok ayah yang bertanggung jawab terhadap keluarga.

“Ibu”…  ibu saya adalah penengah di dalam keluarga yang selalu menjembatani pemikiran anak-anaknya dengan pemikiran ayah saya.  Beliau adalah orang yang sangat sabar dan sangat lembut, walaupun beliau mengaku sebagai orang yang sangat tomboy.  Beliau juga orang yang sangat supel dan sangat pandai bergaul. Setiap berada di suatu tempat, beliau pasti selalu dapat memperoleh kenalan baru. Sekalipun hanya sekedar mengantri di ATM misalnya, pasti beliau akan dengan sangat mudahnya berteman dengan sesama orang yang mengantri disana. Saya sangat kagum dengan sosok ibu saya, selain itu juga beliau lah yang paling dekat dengan saya selama ini. Mungkin beliaulah yang paling memahami sikap dan perilaku anaknya yang satu ini.

Kejadian menggetarkan bersama ibu saya, saya alami pada saat yang sama ketika memeluk ayah saya saat itu. Diwaktu itu untuk pertama kalinya saya bisa memeluk beliau dan beliau pun menitihkan air matanya. Meski ibu saya sedang sedih, beliau merupakan orang yang tidak pernah menangis di depan anak-anaknya. Namun pada saat itu, untuk pertama kalinya pula saya melihat beliau menangis. Hingga saat ini terkadang saya masih bisa memeluk ibu saya di momen khusus seperti ulang tahun atau di hari ibu, bahkan sebelum saya berangkat melanjutkan studi ke Jepang saat itu.

Saya berharap jikalau nanti tulisan ini terpilih dan diterbitkan serta dibaca oleh kedua orang tua saya, saya berharap mereka tidak marah melainkan bangga kepada saya. Dan saya berharap bahwa saya masih bisa memeluk mereka lagi seperti saat itu. Selain itu… ke depannya entah saya berhasil atau gagal menyelesaikan studi s2 saya disini,  saya harap kedua orang tua saya sudah cukup bangga dengan pencapaian yang diraih oleh anaknya selama ini. Karena jujur saja semua yang saya lalui sekarang ini lebih berat dari apa yang pernah saya bayangkan. Sehingga hanya semua pencapaian yang saya raih selama inilah yang merupakan satu-satunya hadiah yang bisa diberikan oleh seorang anak kepada orang tuanya.

Di dalam perjalanan hidup saya, banyak hal-hal yang silih berganti menimbulkan tangis serta tawa dalam kehidupan. Diantaranya yang cukup membentuk karakter saya adalah masa-masa yang saya alami semasa SMP… dimana saat itu saya berpindah-pindah sekolah. Masa SMP membentuk karakter saya menjadi orang yang sangat menjaga benar arti sebuah persahabatan dan menjadi pribadi yang mungkin bisa dibilang introvert seperti sekarang. Ketika saya kelas 1 SMP dan bersekolah di Semarang, ada suatu kejadian dimana saya menyukai sesosok wanita. Namun pada saat yang bersamaan sahabat baik saya saat itu ternyata juga jatuh cinta pada sosok wanita yang sama. Saya pun memendam perasaan saya dan membiarkan teman saya dekat kepada sosok wanita tersebut. Mungkin itulah yang menjadi salah satu alasan pendukung bagi saya untuk merengek kepada orang tua untuk pindah sekolah selain karena alasan tidak betah tinggal bersama nenek dan jauh dari orang tua. Hingga akhirnya setelah kelas 1 SMP berakhir, saya pun meneruskan kelas 2 SMP di Surabaya.

Ketika kelas 2 SMP, saya disekolahkan di sekolah unggulan di Surabaya. Pergaulan dengan teman-teman dari golongan menengah keatas membuat saya menjadi pribadi yang agak sedikit minder, karena umumnya banyak diantara mereka yang cenderung pamer harta. Sehingga… saya yang berasal dari keluarga yang biasa-biasa saja merasa sedikit canggung dengan pergaulan disana.

Ketika bersekolah di Surabaya… saya pun mulai memahami siapa yang layak disebut sebagai sahabat dan siapa yang hanya cukup dijadikan sebagai seorang teman. Ketika itu pula untuk pertama kalinya saya menganggap seorang sahabat sudah seperti saudara saya sendiri. Memiliki sahabat seperti saudara sendiri waktu itu membuat saya sangat senang dan membuat saya menjadi terbuka akan segala hal kepada sahabat yang saya anggap sebagai kakak atau adik saya sendiri itu. Namun disitulah saya belajar akan sebuah persahabatan. Disitu pula saya belajar bahwa tidak selamanya segala sesuatu harus diungkapkan sekalipun dengan sahabat yang paling dengan kita. Karena seorang sahabat yang sangat dekat dengan kita seperti saudara kita sendiri, terkadang mereka bisa menjadi pedang yang bermata dua. Saat itulah saya belajar bahwa  terkadang lebih baik berbohong dan berkata tidak mengerti apa-apa daripada jujur sehingga nantinya malah menimbulkan fitnah dan perpecahan.

Karakter saya dibentuk ketika itu dan semenjak bersekolah di Surabaya inilah hobi menulis saya mulai timbul. Karena perasaan canggung dan minder yang saya miliki, maka saya pun banyak menuangkan ide-ide saya dalam bentuk puisi atau sebuah cerita.  Karena melalui sebuah tulisan lah saya bisa menumpahkan segala perasaan yang saya alami dibandingkan melalui sebuah ucapan kata-kata. Dan oleh karena dukungan dari teman-teman yang dekat dengan saya pada saat itu, yang memberikan pujian atas puisi-puisi yang saya tulis tangan dalam sebuah buku, maka saya pun memiliki impian untuk menerbitkan buku hasil karya saya sendiri suatu saat nanti.

Bila merefleksi kehidupan saya selama ini, didikan dalam keluarga menempa diri saya menjadi pribadi yang mandiri, rajin serta berkeinginan keras. Sejak kelas 3 SD saya sudah berusaha untuk mencari uang sendiri. Mulai dari berjualan pembatas buku, berjualan coklat bahkan ketika itu membantu kakak saya untuk berjualan ikan cupang. Saya ingat betul ketika itu saya menggunakan uang hasil jualan tersebut untuk membeli mainan yang selama ini saya inginkan.

Saya juga menilai diri saya sebagai pribadi yang mungkin agak kaku dalam pergaulan. Saya tak pandai berbicara, terlebih bila berada dalam sebuah keramaian. Saya lebih suka mengobrol dari hati ke hati atau mungkin maksimal bersama 3 atau 4 orang daripada berkumpul dengan banyak orang. Karena itu saya memberikan simbol bagi diri saya sendiri sebagai sebuah es. Namun layaknya sebuah es, sebongkah es pun bisa mencair. Maka ketika es itu mencair karena kedekatan dan hubungan yang semakin intim, maka air es tersebut akan menjadi sesuatu yang fleksibel dan bermanfaat bagi orang lain.

Semua pencapaian yang saya peroleh selama ini bukanlah tanpa perjuangan dan kerja keras. Saya merasakan betul jatuh bangun kehidupan yang saya alami. Berulang kali saya mengalami kegagalan terutama untuk meringankan beban orang tua yaitu dengan memperoleh beasiswa. Saya memahami diri saya sendiri bahwa saya bukan orang yang pandai dengan kemampuan otak yang super. Tapi saya ingin membuktikan bahwa seorang biasa suatu saat bisa menjadi orang yang tidak biasa bahkan luar biasa jika diikuti oleh semangat, kemauan serta kerja keras. Saya selalu memiliki pedoman dalam hidup untuk selalu menjadi “Be The Best In Your Life” dan saya selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk setiap yang saya lakukan. Karena ada pepatah mengatakan bahwa “In this life we cannot always do great things. but we can do small things with great love” dan saya yakin dengan cinta yang besar dan selalu memberikan yang terbaik suatu saat kesempatan yang ada itu akan tiba. Hingga akhirnya saya telah membuktikan itu semua dan bisa melanjutkan studi ke luar negeri yaitu Jepang. Bahkan disaat terakhir pun  saya harus berjuang untuk mendapatkan beasiswa tersebut karena beasiswa studi strata 2 yang saya peroleh hampir dibatalkan karena saya menjalani skripsi sambil bekerja full time di sebuah perusahaan sehingga skripsi saya hampir tidak selesai. Oleh karena itu, jika suatu saat ada sebuah buku biografi tentang diri saya mungkin judul yang saya inginkan untuk buku biografi tersebut adalah “Ivan Prakasa: From Nothing Become Something”. Walau sekarang ini saya masih belum menjadi apa-apa dan masih berproses, tapi saya yakin bahwa saya yang bukan apa-apa (nothing) bisa menjadi sesuatu (something) yang berguna bagi banyak orang. Dan untuk meraih itu semua saya akan terus melakukan small things with my best effort.

Jika saya membayangkan Indonesia di tahun 2030 mendatang, saya berharap Indonesia bisa menjadi negara yang tentram dan bisa menghargai arti sebuah perbedaan. Tidak ada lagi perbedaan SARA dan niscaya dengan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” yang kita miliki, bisa membuat negara Indonesia menjadi negeri yang besar dan tidak lagi dipandang sebelah mata oleh negara lain. Karena saya melihat banyak sekali potensi dari Indonesia yang masih bisa digali jika kita bisa memaknai masing-masing perbedaan satu sama lain.

Hal kecil yang saya lakukan untuk mewujudkan Indonesia menjadi negara yang besar salah satunya dengan yang saya lakukan saat ini. Saya akan berjuang semaksimal mungkin menyelesaikan studi saya di Jepang ini agar tidak kandas ditengah jalan. Dan niscaya sekembalinya saya ke Indonesia, saya bisa membagikan ilmu yang saya peroleh dan setidaknya bisa membuat negara Indonesia menjadi negara yang mandiri dan tough seperti di negeri sakura.

Bagian dari “Rubrik Kolaborasi Bukik Bertanya”

14 thoughts on “Bukik Bertanya : From Nothing Become Something

  1. Pingback: Kolaborasi Bukik Bertanya Seri 1 | Bukik Ideas

  2. Pingback: Bukik Bertanya: Undangan untuk Berkolaborasi | Bukik Ideas

  3. Baguuuus ivaaaan 🙂
    Gw ampe (˘̩̩̩⌣˘̩̩̩) bacanya,,,
    Semangaaaat teruuuus ya,,,,
    Lo bisa jadiin cerita gw sbg buku tuh,,,ahahaha

  4. Cool!! you must publish that biography!!!
    Go and get your dreams,, I believe you’ll go far my friend
    soo like i’ve said, you must come back and share 🙂

  5. pertama, selamat ulang tahun ya mas .. semoga makin sukses 🙂

    kedua, perjalanan hidup mu aku paham banget mas, pendidikan dari keluarga yg kau bilang monoton dan tidak ada demokrasi itu terjadi juga pada hidupku… mengharukan

    salam kenal

    • @Vira
      Hai Vira…
      Terima kasih ucapannya…
      Ya memang begitu Vira… Tapi yakinlah bahwa ternyata orang tua sebenarnya sangat menyayangi kita.
      Dan saya pun baru menyadarinya ketika lepas SMA tersebut.
      Suatu saat jika Vira mengalami kejadian yg menyentuh bersama keluarga terutama orang tua pasti Vira akan memahami nya. 🙂
      Salam kenal ya Vira…

  6. Saya yakin dgn semangat dan kerja Keras yg mas Ivan lakukan saat ini akan menjadikan mas Ivan orng yg sukses…👍 dan tetap rendah hati ya mas Ivan 😉

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s